Selasa, 02 Juli 2013

HIV DAN AIDS




A.  Defenisi HIV /AIDS
Acquired immunodeficiency syndrome sindrom defisiensi imun atau didapat (AIDS) adalah penyakit dari sistem kekebalan tubuh manusia yang disebabkan oleh human immunodeficiency virus (HIV). AIDS adalah singkatan dari acquired immunedeficiency syndrome, merupakan sekumpulan gejala yang menyertai infeksi HIV. Infeksi HIV disertai gejala infeksi yang oportunistik yang diakibatkan adanya penurunan kekebalan tubuh akibat kerusakan sistem imun. Sedangkan HIV adalah singkatan dari  Human Immunodeficiency Virus.
AIDS pertama kali diakui oleh US Centers for Disease Control dan Pencegahan pada tahun 1981 dan penyebabnya, HIV, yang diidentifikasi pada awal tahun 1980.
Meskipun pengobatan untuk AIDS dan HIV dapat memperlambat perjalanan penyakit, saat ini belum ada vaksin atau obat. ART mengurangi mortalitas baik dan morbiditas infeksi HIV, tetapi obat ini mahal dan rutin akses terhadap pengobatan antiretroviral tidak tersedia di semua negara. Karena kesulitan dalam mengobati infeksi HIV, mencegah infeksi adalah tujuan kunci dalam mengendalikan pandemi AIDS, dengan organisasi kesehatan mempromosikan seks aman dan jarum program pertukaran dalam upaya untuk memperlambat penyebaran virus.

B.  Sejarah penyebaran virus Human Immunodeficiency Virus
Penyebaran Human Immunodeficiency Virus (HIV) mulai pada pertengahan hingga akhir 1970-an, tetapi dianggap ada di Afrika selama bertahun-tahun. Kasus pertama diketahui di Afrika tengah tetapi kematian disalahkan pada tuberkulosis dan penyakit lain. Penelitian epidemiologi penyakit HIV dimulai pada 1981 setelah perjangkitan pertama suatu bentuk kanker yang jarang, sarkoma Kaposi, dan pneumonia Pneumocystis carinii di beberapa kota di AS.

Pada 1982, Centers for Disease Control and Prevention (CDC), di Atlanta, AS, mendefinisikan sindrom kanker dan penyakit menular sebagai Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS): sebagaimana pengertian tentang gejala lanjutan infeksi HIV muncul dan terjadi perubahan pada diagnosis, definisi AIDS CDC beberapa kali diubah. Pada 1983, virus penyebab AIDS dikenal di Perancis: pada awalnya diberi nama HTLV-III atau LAV dan kemudian diubah menjadi HIV.
Epidemi HIV/AIDS, selama dua dasawarsa belakangan ini, telah menyebar ke lebih 190 negara di semua benua. UNAIDS memperkirakan bahwa, pada akhir 2000, ada 36,1 juta orang yang hidup dengan HIV/AIDS, dengan 90 persen di negara berkembang.
Sejarah Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia
Rupanya era globalisasi saat ini menyebabkan dunia tampak semakin kecil, negara tidak mempunyai batas-batas lagi. Perpindahan penduduk menjadi begitu mudah, demikian juga dengan HIV, bisa berpindah dari satu negara ke negara lainnya dengan leluasa hingga akhirnya sampai ke Indonesia. Kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia diidentifikasi di Bali pada seorang laki-laki asing yang kemudian meninggal pada April 1987. Akan tetapi, penyebaran HIV di Indonesia meningkat setelah tahun 1995. Hal ini dapat dilihat pada tes penapisan (screening) darah donor yang positif HIV meningkat dari 3 per 100.000 kantong pada 1994 menjadi 16 per 100.000 kantong pada tahun 2000. Peningkatan 5 kali lebih tinggi dalam waktu 6 tahun.

Sejak tahun 1999 terjadi fenomena baru penyebaran HIV/AIDS yaitu infeksi HIV mulai terlihat pada para pengguna Narkoba suntik. Penularan pada kelompok ini terjadi secara cepat karena penggunaan jarum suntik bersama. Sebagai contoh, pada tahun 1999 hanya 18% pengguna narkoba suntik yang dirawat di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta yang terinfeksi HIV. Akan tetapi pada tahun 2000 angka tersebut meningkat dengan cepat menjadi 40% dan pada tahun 2001 menjadi 48%.Fakta baru pada 2002 menunjukkan bahwa penularan infeksi HIV juga telah meluas ke rumah tangga. Di beberapa wilayah di Jakarta dilaporkan bahwa sekitar 3% dari 500 ibu hamil yang dites secara sukarela dalam kegiatan VCT (Voluntary Counseling and Testing) sudah terinfeksi HIV.Jadi, semua jenis penularan HIV ada di negara kita dan sudah mengenai siapa saja bahkan hingga ke ibu rumah tangga dan bayi yang dikandungnya
C.  Epidemiologi HIV/AIDS
UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta jiwa sejak pertama kali diakui tahun 1981, membuat AIDS sebagai salah satu epidemik paling menghancurkan pada sejarah. Meskipun baru saja, akses perawatan antiretrovirus bertambah baik di banyak region di dunia, epidemik AIDS diklaim bahwa diperkirakan 2,8 juta (antara 2,4 dan 3,3 juta) hidup pada tahun 2005 dan lebih dari setengah juta (570.000) merupakan anak-anak.  Secara global, antara 33,4 dan 46 juta orang kini hidup dengan HIV. Pada tahun 2005, antara 3,4 dan 6,2 juta orang terinfeksi dan antara 2,4 dan 3,3 juta orang dengan AIDS meninggal dunia, peningkatan dari 2003 dan jumlah terbesar sejak tahun 1981.
Adanya infeksi menular seksual (IMS) yang lain (misal GO, klamidia), dapat meningkatkan risiko penularan HIV (2-5%). HIV menginfeksi sel-sel darah sistem imunitas tubuh sehingga semakin lama daya tahan tubuh menurun dan sering berakibat kematian. HIV akan mati dalam air mendidih/ panas kering (open) dengan suhu 56oC selama 10-20 menit. HIV juga tidak dapat hidup dalam darah yang kering lebih dari 1 jam, namun mampu bertahan hidup dalam darah yang tertinggal di spuit/ siring/ tabung suntik selama 4 minggu. Selain itu, HIV juga tidak tahan terhadap beberapa bahan kimia seperti Nonoxynol-9, sodium klorida dan sodium hidroksida.
Menurut WHO Global Summary of the AIDS epidemic 2009 mengatakan bahwa jumlah orang yang terjangkit virus HIV mencapai 33,3 juta orang dan yang meninggal akibat penyakit AIDS pada tahun 2009 mencapai 1,8 juta orang .
Para ahli epidemiologi Indonesia memproyeksikan bila tidak ada peningkatan upaya penanggulangan yang berarti, maka pada 2010 jumlah kasus AIDS menjadi 400.000 orang dengan kematian 100.000 orang, dan pada 2015 menjadi 1.000.000 orang dengan kematian 350.000 orang. Kebanyakan penularan tetap terjadi pada sub-populasi berperilaku berisiko kepada isteri atau pasangannya. Diperkirakan pada akhir 2015 akan terjadi penularan HIV secara kumulatif pada lebih dari 38,500 anak yang dilahirkan dari ibu yang HIV positif.
D.  Etiologi
AIDS disebabkan oleh virus yang mempunyai beberapa nama yaitu HTL II, LAV, RAV. Yang nama ilmiahnya disebut Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) yang berupa agen viral yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh darah dan punya afinitas yang kuat terhadap limfosit T.
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
·         Periode jendela.
Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi
·         Fase infeksi HIV primer akut.
Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes illness.
·         Infeksi asimtomatik.
Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.
·         Supresi imun simtomatik.
Diatas 3 tahun dengan gelaja demam, keringat malam hari, berat badan menurun, diare, lemas.
·         AIDS.
Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali ditegakkan. Didapatkan   infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system tubuh, dan manifestasi neurologist.
E.   Patofisiologi
Hasil penelitian meunjukan bahwa penyebab  Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) Adalah human Immunodeficiency virus (HIV) , yang melekat dan memamsuki limfosit T helper CD4+. Virus tersebut menginfeksi limfosit CD4+ dan sel-sel imunologi lain, dan orang itu mengalami destruksi sel CD4+ secara bertahap . sel – sel ini , yang memperkuat dan mengulang respon imunologi , diperlukan untuk mempertahankan kesehatan yang baik , dan bila sel- sel tersebut berkurang dan rusak , maka fungsi imunologi lain mulai terganggu.
Hiv dapt pula menginfeksi makrofak, sel- sel yang dipakai virus untuk melewati sawar darah otak masuk kedalam otak . fungsi limfosit B juga terpengaruh, dengan peningkatan produksi immunoglobulin total sehubungan dengan penurunan produksi antibody spesifik. Dengan memburuknya system imun secara progresif, tubuh menjadi semakin rentan terhadap infeksi oportunis dan juga berkurang kemampuanya dalam memperlambat replikasi HIV. Infeksi HIV dimanifestasikna sebagi penyakit multi system yang dapat bersifat dorma selam bertahun – tahun sambil menyebabkan imunodefisiensi secara bertahap. Kecepatan perkembangan dan manifestasi klinis dari penyakit ini bervariasi dari orang ke orang.

F.   Katogeri Klasifikasi HIV/AIDS
Sejak 1 januari 1993, orang-orang dengan keadaan yang merupakan indicator AIDS (kategori C) dan orang yang termasuk didalam kategori A3 atau B3 dianggap menderita AIDS.
  1. Kategori Klinis A ( Gejala Ringan )
Mencakup satu atau lebih keadaan ini pada dewasa/remaja dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang sudah dapat dipastikan tanpa keadaan dalam kategori klinis B dan C
  1. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang simptomatik.
  2. Limpanodenopati generalisata yang persisten ( PGI : Persistent Generalized Limpanodenophaty )
  3. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) primer akut dengan sakit yang menyertai atau riwayat infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang akut.
  1. Kategori Klinis B ( Gejala Sedang )
Contoh-contoh keadaan dalam kategori klinis B mencakup :
  1. Angiomatosis Baksilaris
  2. Kandidiasis Orofaring/ Vulvavaginal (peristen,frekuen / responnya jelek terhadap terapi
  3. Displasia Serviks ( sedang / berat karsinoma serviks in situ )
  4. Gejala konstitusional seperti panas ( 38,5o C ) atau diare lebih dari 1 bulan.
  5. Leukoplakial yang berambut
  6. Herpes Zoster yang meliputi 2 kejadian yang bebeda / terjadi pada lebih dari satu dermaton saraf.
  7. Idiopatik Trombositopenik Purpura
  8. Penyakit inflamasi pelvis, khusus dengan abses Tubo Varii
  1. Kategori Klinis C ( Gejala Hebat )
Contoh keadaan dalam kategori pada dewasa dan remaja mencakup :
  1. Kandidiasis bronkus,trakea / paru-paru, esophagus
  2. Kanker serviks inpasif
  3. Koksidiomikosis ekstrapulmoner / diseminata
  4. Kriptokokosis ekstrapulmoner
  5. Kriptosporidosis internal kronis
  6. Cytomegalovirus ( bukan hati,lien, atau kelenjar limfe )
  7. Refinitis Cytomegalovirus ( gangguan penglihatan )
  8. Enselopathy berhubungan dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV)
  9. Herpes simpleks (ulkus kronis,bronchitis,pneumonitis / esofagitis )
  10. Histoplamosis diseminata / ekstrapulmoner )
  11. Isoproasis intestinal yang kronis
  12. Sarkoma Kaposi
  13. Limpoma Burkit , Imunoblastik, dan limfoma primer otak
  14. Kompleks mycobacterium avium ( M.kansasi yang diseminata / ekstrapulmoner
  15. M.Tubercolusis pada tiap lokasi (pulmoner / ekstrapulmoner )
  16. Mycobacterium, spesies lain,diseminata / ekstrapulmoner
  17. Pneumonia Pneumocystic Cranii
  18. Pneumonia Rekuren
  19. Leukoenselophaty multifokal progresiva
  20. Septikemia salmonella yang rekuren
  21. Toksoplamosis otak
  22. Sindrom pelisutan akibat Human Immunodeficiency Virus ( HIV)
Gejala Utama /Mayor :
1.      selalu merasa lelah
2.      demam yang berlangsung lebih dari 3 bulan, keringat malam, 
3.      penurunan berat badan yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya lebih dari 10 % dalam 3 bulan
4.      bercak keunguan pada kulit yang tidak hilang-hilang,
5.      pernafasan pendek,
6.      diare berat lebih dari 1 bulan berulang maupun terus - menerus,
7.      TBC
Gejala Mayor
1.      infeksi jamur (candida) pada mulut, tenggorokan,
2.       vagina dan mudah memar/perdarahan yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya.
3.      pembengkakan kelenjar pada leher atau lipatan paha
4.      batuk kronis selama lebih dari 1 bulan
5.      munculnya herpes zoster berulang dan bercak – bercak gatal diseluruh tubuh

Dampak yang timbul akibat epidemi HIV/ AIDS dalam masyarakat adalah : menurunnya kualitas dan produktivitas SDM (usia produktif=84%); angka kematian tinggi dikarenakan penularan virus HIV/ AIDS pada bayi, anak dan orang tua; serta adanya ketimpangan sosial karena stigmatisasi terhadap penderita HIV/ AIDS masih kuat.
I.      Cara Penularan HIV/AIDS
HIV hanya bisa hidup dalam cairan tubuh seperti : darah, cairan air mani (semen), cairan vagina dan serviks, air susu ibu maupun cairan dalam otak. Sedangkan air kencing, air mata dan keringat yang mengandung virus dalam jumlah kecil tidak berpotensi menularkan HIV.
Penularan AIDS dapat dibagi dalam 2 jenis :
a.      Secara Kontak Seksual
1. Ano-Genital  : Cara hubungan seksual ini merupakan perilaku seksual dengan resiko tertinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi kaum mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari pengidap HIV.
2. Ora-Genital   : Cara hubungan ini merupakan tingkat resiko kedua, termasuk menelan semen dari mitra seksual pengidap HIV.
3. Genito-Genital / Heteroseksual
Penularan secara heteroseksual ini merupakan tingkat penularan ketiga, hubungan suami istri yang mengidap HIV, resiko penularannya, berbeda-beda antara satu peneliti dengan peneliti lainnya.
  1. Secara Non Seksual
Penularan secara non seksual ini dapat terjadi melalui :
1. Transmisi Parental
Penggunaan jarum dan alat tusuk lain (alat tindik, tatto) yang telah terkontaminasi, terutama pada penyalahgunaan narkotik dengan mempergunakan jarum suntik yang telah tercemar secara bersama-sama. Penularan parental lainnya, melalui transfusi darah atau pemakai produk dari donor dengan HIV positif, mengandung resiko yang sangat tinggi.
2. Transmisi Transplasental
Transmisi ini adalah penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak, mempunyai resiko sebesar 50%. Disamping cara penularan yang telah disebutkan di atas ada transmisi yang belum terbukti, antara lain:
Ø  ASI
Ø  Saliva/Air liur
Ø  Air mata
Ø  Hubungan sosial dengan orang serumah
Ø  Gigitan serangga
Walaupun cara-cara transmisi di atas belum terbukti, akan tetapi karena prevalensi HIV telah demikian tinginya di Amerika Serikat, maka tetap dianjurkan :
·         Ibu yang mengidap supaya tidak menyusui bayinya.
·         Mengurangi kontaminasi saliva pada alat seduditasi pada saat berciuman dan pada anak-anak yang mengidap HIV yang menderita gangguan jiwa dan sering digigit serangga.
·         bagi dokter ahli mata dianjurkan untuk lebih berhati-hati berhubungan dengan air mata pengidap HIV.
Perlu diketahui AIDS tidak menular karena :
1.      Hidup serumah dengan penderita AIDS (Asal tidak berhubungan seksual)
2.       Bersentuhan dengan penderita.
3.      Berjabat tangan.
4.      Penderita AIDS bersin atau balik di dekat kita.
5.      Bersentuhan dengan pakaian atau barang lain dari bekas penderita.
6.      Berciuman pipi dengan penderita.
7.      Melalui alat makan dan minum.
8.      Gigitan nyamuk dan serangga lainnya.
9.      Bersama-sama berenang di kolam.

 Kelompok Pelaku Risiko Tinggi 
1.      1.Usia
·         20-34 tahun pada laki-laki
·         16-24 tahun pada wanita
2.      2.Pelancong
3.      3.Pekerja sex komersial
4.      4.Pecandu narkotik
5.      5.Homosex

J.    Cara Pencegahan HIV/AIDS
Pencegahan yang dilakukan ditujukan kepada seseorang yang mempunyai perilaku beresiko yaitu :
1. Pencegahan melalui hubungan seksual
HIV terdapat pada semua cairan tubuh penderita tetapi yang terbukti berperan dalam penularan AIDS adalah mani, cairan vagina dan darah.
HIV dapat menyebar melalui hubungan seksual pria ke wanita, dari wanita ke pria dan dari pria ke pria.
Setelah mengetahui cara penyebaran HIV melaui hubungan seksual maka upaya pencegahan adalah dengan cara :
·         Tidak melakukan hubungan seksual. Walaupun cara ini sangat efektif, namun tidak mungkin dilaksanakan sebab seks merupakan kebutuhan biologis.
·         Melakukan hubungan seksual hanya dengan seorang mitra seksual yang setia dan tidak terinfeksi HIV (homogami)
·         Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin
·         Hindari hubungan seksual dengan kelompok rediko tinggi tertular AIDS.
·         Tidak melakukan hubungan anogenital.
·         Gunakan kondom mulai dari awal sampai akhir hubungan seksual dengan kelompok resiko tinggi tertular AIDS dan pengidap HIV.
·         Tidak melakukan hubungan seks pra nikah
·         Tidak berganti-ganti pasangan
·         Apabila salah satu pihak sudah terinfeksi HIV, gunakanlah kondom.

2. Pencegahan melalui darah
Darah merupakan media yang cocok untuk hidup virus AIDS. Penularan AIDS melalui darah terjadi dengan :
·         Transfusi darah yang mengandung HIV.
·         Jarum suntik atau alat tusuk lainnya (akupuntur, tato, tindik) bekas pakai orang yang mengidap HIV tanpa disterilkan dengan baik.
·         Pisau cukur, gunting kuku atau sikat gigi bekas pakai orang yang mengidap virus HIV.
·         Langkah-langkah untuk mencegah terjadinya penularan melalui darah adalah:
·         Darah yang digunakan untuk transfusi diusahakan bebas HIV dengan jalan memeriksa darah donor. Hal ini masih belum dapat dilaksanakan sebab memerlukan biaya yang tingi serta peralatan canggih karena prevalensi HIV di Indonesia masih rendah, maka pemeriksaan donor darah hanya dengan uji petik.
·         Menghimbau kelompok resiko tinggi tertular AIDS untuk tidak menjadi donor darah. Apabila terpaksa karena menolak, menjadi donor menyalahi kode etik, maka darah yang dicurigai harus di buang.
·         Jarum suntik dan alat tusuk yang lain harus disterilisasikan secara baku setiap kali habis dipakai.
·         Semua alat yang tercemar dengan cairan tubuh penderita AIDS harus disterillisasikan secara baku.
·         Kelompok penyalahgunaan narkotik harus menghentikan kebiasaan penyuntikan obat ke dalam badannya serta menghentikan kebiasaan mengunakan jarum suntik bersama.
·         Gunakan jarum suntik sekali pakai (disposable)
·         Membakar semua alat bekas pakai pengidap HIV.
·         Transfusi darah dengan yang tidak terinfeksi.
·         Sterilisasi jarum suntik dan alat-alat yang melukai kulit.
·         Hindari pengguna narkoba.
·         Tidak menggunakan alat suntik, alat tindik, alat tato, pisau cukur dan sikat gigi berdarah dengan orang lain.
·         Steril peralatan medis yang berhubungan dengan cairan manusia

3. Pencegahan penularan ibu kepada anak
Ibu hamil yang mengidap HIV dapat memindahkan virus tersebut kepada janinnya. Penularan dapat terjadi pada waktu bayi di dalam kandungan, pada waktu persalinan dan sesudah bayi di lahirkan.
·         Ibu yang telah terinfeksi HIV agar mempertimbangkan kehamilannya.
·         Tidak menyusui bayinya.
·         Mengkonsumsi obat anti HIV selama hamil (untuk menurunkan resiko penularan pada bayi)
·         Pemberian susu formula pada bayi bila ibu terinfeksi HIV.
·         Serta menghindari darah penderita HIV mengenai luka pada kulit, mulut ataupun mata.
4. Pencegahan pada pengguna narkoba dapat dilakukan dengan cara :
·         Jangan menggunakan jarum suntik bersamaan dan
·         Jangan melakukan hubungan seksual pada saat high (lupa dengan hubungan seksual  aman).

K. Pemeriksaan Diagnostik
Tes-tes saat ini tidak membedakan antara antibody ibu/bayi, dan bayi dapat menunjukkan tes negative pada usia 9 sampai 15 bulan. Penelitian mencoba mengembangkan prosedur siap pakai yang tidak mahal untuk membedakan respons antibody bayi dan ibu :
v  Hitung darah lengkap (HDL) dan jumlah limfosit total: Bukan diagnostic pada bayi baru lahir tetapi memberikan data dasar imunologis.
v  ELISA : Mengidentifikasi antibody yang secara spesifik ditujukan kepada virus Human Immunodeficiency Virus (HIV). ELISA tidak menegakan diagnosa AIDS tapi hanya menunjukkan bahwa seseorang terinfeksi atau pernah terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Orang yang dalam darahnya terdapat antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) disebut seropositif.
v  Western bold ( uji konfirmasi yang umum ) : mendeteksi adanya antibody terhadap beberapa protein spesifik HIV
v  Kultur HIV (dengan sel mononuclear darah perifer dan, bila tersedia, plasma).: Standar emas untuk meamstikan diagnosis pada bayi.
v  Tes reaksi rantai polymerase ( polymerase chain reaction  ( PCR ) :dengan leukosit darah perifer: Mendeteksi DNA viral pada adanya kuantitas kecil dari sel mononuclear perifer terinfeksi.
v  Antigen p24 serum atau plasma: peningkatan nilai kuantitatif dapat menjadi indikatif dari kemajuan infeksi (mungkin tidak dapat dideteksi pada tahap sanagt awal infeksi HIV)
v  Penentuan immunoglobulin G, M, dan A serum kualitatif (IgG, IgN, dan IgA): Bukan diagnostic pada bayi baru lahir tetapi memberikan data dasar imunoogis.
v  Uji Antigen HIV:  Mendeteksi Antigen HIV
v  HIV, IgA, IgM: mendeteksi antibody HIV yang diproduksi bayi

HIV menyebabkan terjadinya penurunan kekebalan tubuh sehingga pasien rentan terhadap serangan infeksi oportunistik. Antiretroviral (ARV) bisa diberikan pada pasien untuk menghentikan aktivitas virus , memulihkan system imun dan mengurangi terjadinya infeksi  oportunistik, memperbaiki kualitas hidup, dan menurunkan kecacatan.Pengobatan HIV/ AIDS yang sudah ada kini adalah dengan pengobatan ARV (antiretroviral) dan obat-obat baru lainnya masih dalam tahap penelitian.
Jenis obat-obat antiretroviral :
  • Attachment inhibitors (mencegah perlekatan virus pada sel host) dan fusion inhibitors (mencegah fusi membran luar virus dengan membran sel hos). Obat ini adalah obat baru yang sedang diteliti pada manusia.
  • Nucleoside Reverse transcriptase inhibitors atau NRTI, mencegah salinan RNA virus ke dalam DNA sel hos. Beberapa obat-obatan yang dipergunakan saat ini adalah golongan Nukes dan Non-Nukes.
  • Nucleotide reverse Integrase inhibitors atau NtRTI,).Yang termasuk golongan ini adalah tenofovir(TDF)
  • Non- Nucleotide reverse Integrase inhibitors atau NNRTI,). Golongan ini juga bekerja dengan menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA dengan cara mengikat reverse transcriptase sehingga tidak berfungsi.
  • Protease inhibitors (PIs), menghalangi enzim protease yang berfungsi memotong DNA menjadi potongan-potongan yang tepat. Golongan obat ini sekarang telah beredar di pasaran (Saquinavir, Ritonavir, Lopinavir, dll.).
  • Immune stimulators (perangsang imunitas) tubuh melalui kurir (messenger) kimia, termasuk interleukin-2 (IL-2), Reticulose, HRG214. Obat ini masih dalam penelitian tahap lanjut pada manusia.
  • Obat antisense, merupakan “bayangan cermin” kode genetik HIV yang mengikat pada virus untuk mencegah fungsinya (HGTV43). Obat ini masih dalam percobaan.
  • Fusion inhibitor. Yang termasuk golongan ini adalah Enfuvirtide (T-20)
M.Cara Penularan HIV / AIDS dari Ibu ke Anak
Penularan HIV dari ibu ke anak terjadi karena wanita yang menderita HIV / AIDS sebagian besar masih berusia subur, sehingga terdapat resiko penularan infeksi yang terjadi pada saat kehamilan (Richard, et al., 1997).. Penularan ini dapat terjadi dalam 3 periode:
1.       Periode kehamilan
Selama kehamilan, kemungkinan bayi tertular HIV sangat kecil. Hal ini disebabkan karena terdapatnya plasenta yang tidak dapat ditembus oleh virus itu sendiri. Oksigen, makanan, antibodi dan obat-obatan memang dapat menembus plasenta, tetapi tidak oleh HIV. Plasenta justru melindungi janin dari infeksi HIV. Perlindungan menjadi tidak efektif apabila ibu:
a.       Mengalami infeksi viral, bakterial, dan parasit (terutama malaria) pada plasenta selama kehamilan.
b.      Terinfeksi HIV selama kehamilan, membuat meningkatnya muatan virus pada saat itu.
c.       Mempunyai daya tahan tubuh yang menurun.
d.      Mengalami malnutrisi selama kehamilan yang secara tidak langsung berkontribusi untuk terjadinya penularan dari ibu ke anak.

2.       Periode persalinan
Pada periode ini, resiko terjadinya penularan HIV lebih besar jika dibandingkan periode kehamilan. Penularan terjadi melalui transfusi fetomaternal atau kontak antara kulit atau membran mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan. Semakin lama proses persalinan, maka semakin besar pula resiko penularan terjadi. Oleh karena itu, lamanya persalinan dapat dipersingkat dengan section caesaria.
Faktor yang mempengaruhi tingginya risiko penularan dari ibu ke anak selama proses persalinan adalah:.
a.       Chorioamnionitis akut (disebabkan tidak diterapinya IMS atau infeksi lainnya).
b.      Teknik invasif saat melahirkan yang meningkatkan kontak bayi dengan darah ibu misalnya, episiotomy.
c.        Anak pertama dalam kelahiran kembar.

3.        Periode Post Partum
Cara penularan yang dimaksud disini yaitu penularan melalui ASI. Diketahui bahwa ibu yang menyusui bayinya mempunyai resiko menularkan HIV sebesar 10- 15% dibandingkan ibu yang tidak menyusui bayinya. Risiko penularan melalui ASI tergantung dari:
a.       Pola pemberian ASI, bayi yang mendapatkan ASI secara eksklusif akan kurang berisiko dibanding dengan pemberian campuran.
b.      Patologi payudara: mastitis, robekan puting susu, perdarahan putting susu dan infeksi payudara lainnya.
c.       Lamanya pemberian ASI, makin lama makin besar kemungkinan infeksi.
d.      Status gizi ibu yang buruk





N.  Pemberian ASI dari ibu yg tertkena HIV/AIDS
Kandungan dalam Air Susu Ibu (ASI) diduga kuat mengurangi risiko penularan HIV dari ibu kepada anak. Karena itu para wanita yang terinfeksi HIV disarankan untuk tetap menyusui bayinya sambil terus mengonsumsi obat ARV.

Penelitian yang dilakukan di Zambia menyimpulkan hal tersebut. Para peneliti mengumpulkan contoh ASI dari 81 wanita dengan HIV positif yang menularkan virus mereka pada bayinya selama masa menyusui, serta 86 contoh ASI dari wanita yang positif HIV tetapi tidak menularkan virus, serta 36 wanita yang tidak terkena HIV.

Para ilmuwan kemudian menganalisa sampel ASI tersebut untuk mengetahui konsentrasi karbohidrat yang disebut oligosakarida dalam susu manusia. Ada bukti kuat yang menunjukkan oligosakarida mengandung komponen aktif imunologi yang mengurangi risiko penularan virus.

Hasil penelitian yang dimuat dalam American Journal of Clinical Nutirion menemukan bahwa wanita yang ASI-nya memiliki kandungan oligosakarida dalam jumlah tinggi, beresiko lebih rendah menularkan HIV kepada bayinya dibandingkan dengan mereka yang konsentrasinya lebih rendah.
Tidak semua bayi yang dilahirkan perempuan yang HIV-positif tertular HIV. Waktu si bayi tumbuh dalam kandungan, darah ibu dan bayinya menjadi sangat dekat- tetapi biasanya tidak bercampur. Bila 100 ibu yang terinfeksi HIV masing-masing melahirkan satu bayi, rata-rata 30 bayi akan tertular HIV. Rata-rata virus akan ditularkan pada lima bayi selama kehamilan, 15 lagi pada saat persalinan, dan sepuluh bayi lagi setelah lahir melalui ASI. Risiko penularan dari ibu-ke-bayi sangat berbeda-beda tergantung pada faktor yang dibahas di bawah.
Ada beberapa bukti bahwa menyusui eksklusif, yaitu si bayi menerima hanya ASI, lebih aman daripada dicampur dengan pengganti ASI (PASI), dan bahkan dapat melindungi bayi terhadap penularan HIV pada saat persalinan. Adalah lazim memberi air atau cairan lain sebelum ASI keluar, dan PASI diberikan pada minggu-minggu pertama kehidupannya. Bayi tidak perlu menerima makanan atau minuman apa pun selain ASI pada enam bulan pertama kehidupannya. Cairan atau makanan lain menyebabkan peradangan pada lapisan usus yang dapat memungkinkan HIV yang terdapat pada ASI dapat masuk melewati dinding usus.
Sebuah  studi terbaru melaporkan, menyusui yang membantu membentuk sistem kekebalan tubuh bayi, mungkin menjadi pilihan terbaik bagi ibu-ibu yang terinfeksi HIV di negara-negara berkembang. Meskipun hal itu berisiko menularkan virus AIDS pada bayi mereka.
Secara umum, ibu yang dinyatakan HIV positif dianjurkan untuk memberikan susu formula pada bayinya untuk membatasi risiko penyebaran virus HIV. Namun, hal tersebut ternyata menimbulkan masalah di negara-negara yang kesulitan air bersih dan bahan kebutuhan lainnya.
Berbicara di depan konferensi Retroviruses and Opportunistic Infections ke-14, dokter anak dari Universitas KwaZulu-Natal Afrika Selatan, Dr Hoosen Coovadia mengatakan bahwa jika ibu-ibu dengan HIV positif di negara-negara berkembang diperintahkan menyusui bayinya, maka akan menyebabkan sekitar 300.000 bayi terinfeksi HIV. Namun tindakan ini akan menyelamatkan 1,5 juta orang dari kematian akibat penyakit lainnya.
O.  Peran Bidan Dalam Menghadapi Pasien HIV/AIDS
Pasien HIV/AIDS memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang perlu dipertimbangkan dengan menetapkan tujuan terapi sebagai berikut:
1.      Membantu pasien mempertahankan kontrol akan hidupnya dan membantu mereka menemukan mekanisme pertahanan yang sehat, termasuk sikap yang selalu positif dalam menghadapi begitu banyak tantangan dan stres dalam perjalanan penyakitnya.
2.      Membantu pasien menghadapi perasaan bersalah, penyangkalan, panik, dan putus asa.
3.      Bekerja bersama pasien menciptakan perasaan self-respect (menghormati diri sendiri) dan menyelesaikan konflik mereka jika ada (misalnya homoseksualitas, penggunaan obat-obat terlarang, dan sebagainya).
4.      Membantu mereka berkomunikasi dengan keluarga, pasangan hidup dan teman-teman mengenai penyakit mereka dan rasa takut akan penolakan serta ditinggalkan. Juga membantu mereka membina hubungan interpersonal yang memuaskan.
5.      Membantu mereka membangun strategi untuk berhadapan dengan krisis nyata yang mungkin terjadi, baik dalam kesehatan maupun sosioekonomi, dan hal-hal dalam kehidupan lainnya.

P.   Tujuan Penanggulangan HIV/AIDS
v  Tujuan Umum
Mencegah dan mengurangi penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup ODHA serta mengurangi dampak sosial ekonomi akibat HIV/ AIDS.
v  Tujuan Khusus
1.      Menyediakan dan menyebarluaskan informasi dan  menciptakan suasana kondusif untuk mendukung upaya penanggulangan HIV/AIDS, dengan menitikberatkan pencegahan pada populasi beresiko dan lingkungannya.
2.      Menyediakan pelayanan perawatan, pengobatan, dukungan dan konseling kepada ODHA yang terintegrasi dengan upaya pencegahan.
3.      Meningkatkan peran serta remaja, perempuan, keluarga dan masyarakat umum termasuk ODHA dalam berbagai upaya penanggulangan HIV/AIDS.
4.      Menciptakan dan mengembangkan kemitraan antara lembaga pemerintah, LSM, sektor swasta dan dunia usaha, organisasi profesi, dan lembaga donor baik nasional maupun internasional di pusat dan di daerah untuk meningkatkan respons nasional terhadap HIV/AIDS.
5.      Meningkatkan koordinasi kebijakan nasional dan  daerah serta inisiatif dalam penanggulangan HIV/AIDS.



REFERENCE 
1.      M.Nurs,Nursalam.2007.Asuhan Keperawatan Pada Pasien HIV/AIDS.Edisi      Pertama.Salemba Medika.Jakarta
2.      Varney,Helen.2006.Buku Ajar Asuhan Kebidanan .Edisi ke Empat. EGC .Jakarta.
3.      Betz. Cecily L. 2002 . Buku Saku Keperawatan Pediatri . EGC . Jakarta
4.      Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia . 1992 . Seluk Beluk AIDS yang Perlu Anda Ketahui. FKUI. Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar